Jakarta: Eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2009-2014, Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh, DEA, memberikan tanggapan atas permohonan uji materi Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian materi tersebut diajukan BKS Dekan FH-PTN se-Indonesia bersama dosen dan mahasiswa.
Menanggapi permohonan uji materi tersebut, Nuh meresponsnya dengan sikap positif. Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember IITS) ini mengatakan, pengajuan uji materi tersebut merupakan hak konstitusional setiap warga negara.
"Sehingga pandangan saya, kalau ada yang men-challenge di MK, monggo silakan. Justru di situlah kita saling uji, ya saling uji apakah yang disampaikan itu memang benar-benar memberatkan dan bertentangan dengan undang-undang dasar 45 atau justru sebaliknya," kata Nuh dalam Seminar Forkom LAM bertema “Perjalanan Lembaga Akreditasi Mandiri Teknik dan Infokom” di Jakarta, Rabu, 23 Juli 2025.
Nuh yang membidani lahirnya kebijakan tentang Lembaga Akreditasi Mandiri ini juga menegaskan, keberadaan LAM sangat penting dan merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya menjaga kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. "LAM ini penting dan niscaya," kata Nuh.
Menurut Nuh, kehadiran LAM ini bukan sekadar karena pasal ini masuk di dalam Undang-Undang 12 tahun 2012. "Tetapi memang esensinya perlu, bukan hanya perlu, tapi juga penting. Siapa yang menjamin kualitas dari sebuah perguruan tinggi atau dari program studi, kalau semuanya dibebankan kepada pemerintah? Pemerintah pun juga punya keterbatasan," ujar Nuh.
Keberadaan LAM ini, juga untuk melindungi masyarakat dan perguruan tinggi itu sendiri. Lebih luas lagi, kata Nuh LAM juga menjadi bagian dari Interoperabilitas dengan lembaga-lembaga masyarakat dunia. "Karena ada standar yang sudah kita jaga," kata Nuh.
Terkait persepsi keberadaan LAM yang dinilai mengurangi tanggung jawab pemerintah, Nuh menyatakan tidak sependapat dengan hal tersebut. "Kalau dianggap tidak bertanggung jawab, itu persepsi. Tapi saya memastikan, pada saat Undang-Undang nomor 12 tahun 2012, khususnya pada pasal yang berkaitan LAM, itu pemerintah tetap bertanggung jawab. Tinggal bertanggung jawabnya apakah dirasakan kurang besar atau sudah cukup, dan seterusnya. monggo," terangnya.
Nuh mencoba memberikan saran, menghapus keberadaan LAM bukanlah sebuah jalan keluar, karena itu justru berpotensi membongkar fondasi sistem akreditasi di Tanah Air. Sebaliknya, pemerintah diharapkan memperbesar peran dan tanggung jawabnya agar tidak ada lagi kesan abai.
"Kalau saya menyarankan, seandainya dianggap tidak bertanggung jawab terus LAM-nya yang diubah, yang dicabut, bukan itu solusinya. Tapi solusinya, yuk ayo pemerintah, apa kira-kira yang diharapkan tapi masih dirasa kurang untuk berpartisipasi," kata Nuh.
Jika sampai Lembaga Akreditasi Mandiri dihapus, maka banyak kemungkinan terburuk yang sudah menanti dunia pendidikan tinggi di masa mendatang. "Saya tidak bisa membayangkan ada suatu produk massal, yang produk massal itu basisnya standar of quality, tiba-tiba ada lembaga yang punya tanggung jawab ngontrol kualitas tadi itu hilang. Apa yang akan terjadi? Yang akan terjadi, maka kualitas itu bukan lagi menjadi persyaratan dari sebuah produk," tegasnya.
Maka, kata Nuh, tidak ada gunanya lagi 'memproduksi' sesuatu yang abai terhadap standar kualitas itu. "Yang rugi siapa? Bukan hanya dirinya sendiri, negara pun rugi. Karena menyiapkan orang yang tidak ada standarnya," bebernya.
Nuh juga menambahkan, bahwa ketidakpuasan ini pada dasarnya dapat dibawa untuk dikomunikasikan kepada Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi yang saat ini menjabat. "Kita juga bisa menyampaikan pandangan teman-teman ke Pak Menteri. Pak ini loh yang dianaggap kurang tangggung jawab. Dari sisi apa misalnya? Dari finansialnya, kewenangannya, atau apakah dari pembinaannya? itu yang harus dijelaskan. Sekali lagi tidak apa-apa jika ada orang yang men-challenge, itu sesuatu yang biasa saja," tegasnya.
Sebelumnya, permohonan uji materi diajukan Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia bersama sejumlah dosen dan mahasiswa. Mengutip dari laman Mahkamah Konstitusi, dalam permohonannya, para pemohon mempertanyakan keberadaan dua lembaga yang bertugas melakukanakreditasi, yaitu pemerintah melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) serta Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
Menurut para penggugat, keberadaan dua entitas ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan hingga perbedaan standar dan metode penilaian yang membingungkan perguruan tinggi dan program studi. Hal ini juga dinilai dapat melemahkan efektivitas sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Pasal 60 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, "Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik." Sedangkan pasal-pasal dalam UU Dikti mengatur LAM sebagai lembaga akreditasi mandiri yang dibentuk pemerintah atau masyarakat dengan pengakuan pemerintah.
Para pemohon menilai ketentuan ini bertentangan dengan UUD 1945, terutama Alinea Keempat Pembukaan dan Pasal 31 ayat (3), yang menegaskan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka juga menyoroti potensi praktik jual beli akreditasi yang dapat merusak objektivitas penilaian, terutama karena LAM dikelola sebagian oleh masyarakat.
"Hal ini dapat melemahkan efektivitas sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara keseluruhan,” kata salah satu Pemohon, Aan Eko Widiarto sebagai dosen/tenaga pengajar pada FH Universitas Brawijaya dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 60/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (15/5/2025) di Ruang Sidang MK, dikutip dari laman mkri.id, Rabu, 23 Juli 2025.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengawas LAM Teknik, Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, M.Sc, menegaskan bahwa fungsi LAM adalah memperkuat sistem penjaminan mutu, dan mereka terus berupaya menjaga independensi dan akuntabilitas lembaga.
Mantan Dirjen Dikti era Mendikbud, Mohammad Nuh ini juga menekankan, LAM bukan pengganti peran negara, melainkan pelaksana teknis dalam penjaminan mutu program studi yang beroperasi dengan kemandirian profesional dan integritas ilmiah, sesuai prinsip dasar UU 12/2012.
Ketua Komite Eksekutif LAM TEKNIK, ?Prof. Dr.-Ing. Ir. Misri Gozan, M.Tech., IPU menunjukkan bagaimana akreditasi oleh LAM TEKNIK dan IABEE (Akreditasi International) telah mengubah paradigma kampus, dari kepatuhan administratif menuju pencapaian mutu berbasis capaian (Outcome-Based Accreditation).
Sementara itu Ketua Majelis Akreditasi LAM INFOKOM, Prof. Zainal A. Hasibuan, Ph.D. membagikan pengalaman LAM INFOKOM dalam membangun standar akreditasi ICT nasional yang selaras dengan tuntutan global, terutama melalui afiliasi dengan Seoul Accord dan Seoul Accord General Committee (SAGC).
Sumber : MetroTV
Gugatan Pasal Akreditasi di MK, M Nuh: LAM Penting untuk Jaga Mutu Pendidikan Tinggi